Menu Tutup

Melacak Asal Mula Pendidikan Modern: Pengaruh Politik Etis Belanda di Indonesia

Untuk memahami Asal Mula Pendidikan modern di Indonesia, kita perlu menengok kembali era kolonial Belanda, khususnya pada periode implementasi Politik Etis. Kebijakan ini, yang mulai diterapkan pada awal abad ke-20, menandai sebuah titik balik dalam pendekatan Belanda terhadap tanah jajahannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Jika sebelumnya pendidikan formal bagi pribumi nyaris tidak ada, Politik Etis menghadirkan sebuah sistem yang, meskipun terbatas dan punya motif tersembunyi, menjadi fondasi bagi perkembangan pendidikan di kemudian hari.

Politik Etis, yang secara resmi diumumkan pada tahun 1901, didasari oleh gagasan “utang kehormatan” atau Eereschuld yang dipopulerkan oleh C. Th. van Deventer. Ia berargumen bahwa Belanda memiliki kewajiban moral untuk membalas budi atas kekayaan yang telah mereka keruk dari Hindia Belanda. Edukasi menjadi salah satu dari tiga program utama Politik Etis, di samping irigasi dan transmigrasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah kolonial mulai mendirikan berbagai jenis sekolah untuk pribumi, seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School) untuk anak-anak elit pribumi dan sekolah desa (Volksschool) untuk masyarakat umum, meskipun jumlahnya masih sangat terbatas dan kualitasnya bervariasi. Ini menjadi langkah awal yang penting dalam menelusuri Asal Mula Pendidikan yang lebih terstruktur.

Meskipun terkesan sebagai pencerahan, tujuan utama di balik kebijakan pendidikan ini tetap pragmatis bagi kepentingan kolonial. Belanda membutuhkan tenaga-tenaga administratif yang terdidik dan terampil dengan biaya murah untuk menjalankan birokrasi kolonial yang semakin kompleks. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja untuk perkebunan dan industri. Oleh karena itu, kurikulum yang diajarkan cenderung berorientasi pada pengetahuan dasar membaca, menulis, berhitung, dan penguasaan bahasa Belanda, tanpa terlalu mendorong pemikiran kritis atau kesadaran kebangsaan yang dapat mengancam dominasi mereka. Namun, terlepas dari niat tersebut, Asal Mula Pendidikan formal ini secara tidak langsung membuka wawasan baru bagi sebagian kecil masyarakat pribumi.

Akses pendidikan yang diberikan melalui Politik Etis sangatlah terbatas dan diskriminatif. Hanya anak-anak dari kalangan priyayi dan bangsawan yang memiliki kesempatan lebih besar untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang lebih baik, seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau AMS (Algemene Middelbare School). Sementara itu, rakyat jelata hanya dapat mengakses sekolah desa dengan fasilitas dan kualitas pengajaran yang jauh di bawah standar. Namun, dari kalangan terdidik inilah, muncul tokoh-tokoh pergerakan nasional yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1908, organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), yang merupakan salah satu institusi pendidikan tinggi kolonial, menunjukkan bagaimana pendidikan melahirkan kesadaran baru.

Dengan demikian, melacak Asal Mula Pendidikan modern di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Politik Etis Belanda. Meskipun sarat dengan kepentingan kolonial dan diskriminasi, kebijakan ini secara tak langsung telah menabur benih-benih pendidikan formal yang menjadi fondasi bagi sistem pendidikan nasional setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Warisan ini terus berkembang, membentuk sistem pendidikan yang kita kenal hari ini.